Kecacingan merupakan
salah satu penyakit berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena
prevalensi kecacingan tersebut di Indonesia masih tinggi. Meskipun angka
kecacingan masih tergolong tinggi, namun pencegahan dan pemberantasan terhadap
infeksi penyakit tersebut belum juga dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini
disebabkan infeksi cacing ini biasanya kurang mendapat perhatian yang cukup,
terutama dari pihak orang tua, karena akibat yang ditimbulkan infeksi cacing
tersebut secara langsung tidak dapat terlihat (Kieswari, 2009).
Kecacingan dapat
berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, karena dapat
menurunkan produktivitas yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas anak di
masa yang akan datang. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kecacingan,
antara lain kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhannya, kondisi sanitasi
lingkungan dan higiene perorangan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi dan
pendidikan yang rendah. Kondisi sanitasi lingkungan sangat erat hubungannya
dengan infestasi cacing. Hal ini dikarenakan sanitasi lingkungan yang tidak
memadai dapat menjadi sumber penularan cacing pada tubuh manusia (Kieswari,
2009).
II.
Penyebab
Utama
Nematoda usus yang
menginfeksi manusia mencakup empat spesies utama, yaitu: Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichura, Necator americanus, Ancylostoma
duodenale (Noerhayati, 1999).
2.1
Ascaris
lumbricoides (Cacing Gelang)
2.1.1 Epidemiologi
Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut Ascariasis.
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda usus terbesar. Di Indonesia
prevalensi askariasis tinggi, frekuensinya antara 60–90%. Keadaan tanah
dan iklim yang sesuai dapat menjadikan tempat perkembangan yang baik
untuk cacing ini. Telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi dan
jatuh pada tanah yang sesuai menjadi infektif dalam waktu tiga minggu
pada suhu optimum kira-kira 25–30oC (Gandahusada dkk., 2000). Manusia
dapat terinfeksi dengan cara menelan telur Ascaris lumbricoides yang
infektif (telur yang mengandung larva). Semakin banyak telur yang
ditemukan dari sumber kontaminasi, maka semakin tinggi derajat endemi di suatu
daerah. Telur Ascaris lumbricoides lebih kuat dan lebih tahan pada
berbagai variasi lingkungan.
Gambar
1. Cacing gelang.
2.1.2 Siklus Hidup
Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dimulai
dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa didalam usus manusia, dan
dikeluarkan melalui feses. Manusia merupakan hospes defenitif. Seekor cacing
betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100.000 - 200.000 butir perhari, yang
terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Bila keadaan lingkungan
menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung dari
matahari, maka telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dan dapat
bertahan dalam waktu yang lama. Embrio akan berubah menjadi larva di dalam
telur dalam waktu kurang lebih 3 minggu (Gandahusada dkk., 2000).
Telur yang infektif bila tertelan oleh manusia, akan
menetas diusus halus. Larva yang menembus dinding usus halus menuju ke pembuluh
darah atau saluran limfe, lalu dialirkan melalui vena vorta masuk ke hepar,
kemudian ke jantung kanan dan paru. Di paru larva menembus dinding pembuluh
darah dan dinding alveolus, masuk kerongga alveolus kemudian naik ke trakea
melalui bronkiolus dan bronkus. Didalam trakea dengan bantuan bulu-bulu getar
dalam saluran pernafasan, larva mencapai epiglotis kemudian tertelan kembali ke
dalam lambung, lalu menuju usus halus. Di dalam usus halus larva berubah
menjadi cacing dewasa. Setelah kopulasi cacing betina mereproduksi telur dan
telur akan keluar bersama feses penderita. Bila telur ini jatuh ke tanah yang
sesuai untuk pertumbuhannya, telur akan menjadi infektif bagi manusia setelah 3
minggu. Sejak telur infektif sampai cacing dewasa diperlukan waktu kurang lebih
3 bulan, cacing dewasa dapat hidup di usus halus selama 1 tahun di dalam usus
halus.
Gambar
2. Siklus hidup cacing gelang (CDC,
2009).
2.1.3 Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan
oleh larva dan cacing dewasa. Bila jumlahnya sedikit biasanya tidak menunjukkan
adanya gejala klinis dan baru diketahui sebagai penderita setelah dilakukan
pemeriksaan feses atau bila cacing dewasa keluar bersama feses. Terdapatnya
cacing dewasa pada usus biasanya tidak menyebabkan kelainan kecuali bila
jumlahnya banyak. Terkadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti
mual-mual, nafsu makan kurang, diare, atau konstipasi (Margono, 1998).
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat
berada di paru. Penderita yang rentan terhadap pendarahan yang kecil pada
dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk,
demam, dan eosinofolia. Pada foto toraks tampak infitrat yang menghilang dalam
waktu 3 minggu, keadaan ini disebut sindrom loeffler (Gandahusada dkk., 2000).
2.1.4 Patofisiologi
Menurut Effendy yang
dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006:7) disamping itu gangguan dapat
disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan
perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang
disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita
mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan
konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal
dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive) (Effendy,1991).
2.2
Trichuris
trichura (Cacing Cambuk)
2.2.1 Epidemiologi
Infeksi oleh cacing ini disebut trichuriasis. Banyak
di jumpai di daerah dengan curah hujan yang tinggi dan kelembaban tinggi. Telur
yang infektif dalam keadaan terlindung dari sinar matahari langsung akan tetap
bertahan dalam waktu lama. Akan tetapi dalam suhu yang tinggi dan kekeringan Trichuris
trichuira lebih lemah. Penularan terjadi melalui kontaminasi tangan,
makanan atau minuman. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh
dengan suhu optimum kira – kira 30oC. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia
frekuensinya berkisar antara 30%–90% (Kieswari, 2009).
Gambar
3. Cacing cambuk.
2.2.2 Siklus Hidup
Cacing cambuk ini mempunyai siklus hidup yang
sederhana. Telur yang telah dibuahi keluar dari hospes bersama dengan feses.
Telur tersebut berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Infeksi pada manusia
terjadi karena tertelan telur yang infektif yang mencemari makanan dan minuman
mentah, sedangkan pada anak-anak biasanya terinfeksi langsung melalui tangan
yang kotor tercemar tanah yang mengandung telur infektif. Dinding telur akan
tercerna didalam usus halus dan larva muda yang keluar bergerak turun menuju
dasar dari kripta usus. Didalam usus dapat menetap selama 3-10 hari. Setelah
menjadi dewasa cacing turun kebawah kedaerah sekum dan kolon bagian proksimal
kemudian melekatkan diri dengan menembus mukosa usus. Di mukosa usus itulah
cacing mengambil makanannya. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai
menjadi dewasa kurang lebih 30-90 hari (Gandahusada dkk., 2000).
Gambar
4. Siklus hidup cacing cambuk (CDC,
2009).
2.2.3 Gejala Klinis
Pada umumnya Trichuris trichuira dapat
menimbulkan efek traumatik dan efek toksik pada penderita. Trauma pada dinding
usus terjadi karena cacing ini membenamkan kepalanya pada dinding usus, cacing
ini biasanya menetap pada sekum. Pada infeksi yang ringan kerusakan dinding
mukosa usus hanya sedikit. Sedangkan pada infeksi yang berat akan terjadi
pembuntuan appendiks dan proses peradangan pada sekum, kolon, dan appendiks
tersebut. Cacing yang menghasilkan lytic subtance ini juga menghisap
darah penderita. Ultikaria dan gejala-gejala alergi lain dapat pula dijumpai
pada penderita trichuriasis.
Gejala pada infeksi ringan dan sedang seperti, susah
tidur, gugup, nafsu makan menurun, bisa juga dijumpai nyeri epigastrik, muntah,
kontipasi, perut kembung. Pada infeksi berat dengan gejala seperti, diare
berdarah, nyeri perut, tenesmus, anoreksia, anemia dan penurunan berat badan.
Pada infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti. Anemia yang terjadi
pada penderita trichuriasis dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu karena
kemampuan cacing cambuk menghisap darah hospes (0,005 mL/hari/ekor) dan karena
pendarahan yang terjadi pada tempat perlekatan cacing di rongga usus.
2.2.4 Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum
dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat
pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat
pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap
darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Depkes RI., 2006).
2.3
Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)
2.3.1 Epidemiologi
Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Manusia
merupakan penjamu primer untuk cacing ini. Kondisi yang optimal untuk daya
tahan larva adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 28°C–32°C (Gandahusada
dkk., 2000). Infeksi yang terjadi pada manusia karena tertelannya larva
filariform ataupun dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada Necator
americanus infeksi melalui kulit lebih sering terjadi, sedangkan pada Ancylostoma
duodenale infeksi lebih sering terjadi dengan tertelan larva.
Gambar
5. Cacing tambang.
2.3.2 Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif pada
ke dua cacing tambang. Cacing tambang melekat pada mukosa usus halus dengan
rongga mulutnya. Telur yang dikeluarkan bersama tinja pada lingkungan yang
sesuai akan menjadi matang dan mengeluarkan larva rhabditiform dalam waktu 1–2
hari pada suhu optimum. Suhu optimum untuk perkembangan larva antara lain
terlindung dari sinar matahari yang kuat terletak pada tanah dengan ukuran partikel
dan stuktur yang sesuai, dan temperatur antara 28–32oC untuk Necator
americanus dan antara 23– 25oC untuk Ancylostoma duodenale. Dalam
waktu 3–4 hari larva rhabdiftiform menjadi larva filariform yang infektif dan
dapat menembus kulit manusia (Gandahusada dkk., 2000).
Infeksi pada manusia terjadi ketika larva filariform
menembus kulit kaki. Ancylostoma duodenale dapat menginfeksi manusia
melalui mulut. Setelah larva menembus kulit manusia maka larva akan mengikuti
aliran limfe atau pembuluh kapiler dan dapat mencapai paru. Larva akan naik ke
bronkus dan trakea, dan akhirnya masuk ke usus dan menjadi dewasa. Migrasi
melalui darah dan paru berlangsung selama satu minggu, sedangkan siklus dari
larva menjadi dewasa berlangsung selama 7–8 minggu.
Gambar
6. Siklus hidup cacing tambang (CDC, 2009).
2.3.3 Gejala Klinis
Gejala klinik dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa
dan larva. Bila larva infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal, bila
jumlah larva infektif yang masuk banyak, maka dalam beberapa jam saja akan
terjadi reaksi alergi terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan yang
disebut juga ground itc. Larva Ancylostoma duodenale yang
tertelan, sebagian akan masuk ke usus dan tumbuh menjadi dewasa, sebagian lagi
akan menembus mukosa mulut, faring, dan melewati paru seperti larva menembus
kulit. Seekor cacing Necator americanus menyebabkan penderita
kehilangan darah 0,005–0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale menyebabkan
penderita kehilangan darah 0,08–0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer dan eosinofilia pada penderita. Akibat anemia ini
menyebabkan penderita tampak pucat, perut buncit, dan rambut kering serta mudah
lepas.
3.3.4 Patofisiologi
Cacing tambang hidup
dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan
menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara
perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya
dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan
darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan
darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Depkes RI., 2006).
III. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan
dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin
ditemukan larva. Morfologi dan karakteristik telur cacing dapat dilihat pada
tabel 1. Perhitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai
sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi. Metode Kato-Katz
merupakan metode kuantitatif yang disarankan untuk diagnosis penyakit infeksi
cacing (Kemenkes RI, 2012).
Tabel 1. Karakteristik telur cacing yang
ditularkan melalui tanah
Pemeriksaan tinja dengan cara
konsentrasi, pengendapan dan pengapungan lebih teliti daripada pemeriksaan
dengan cara langsung. Hal ini karena dengan cara konsentrasi akan lebih mudah
dan lebih cepat ditemukan telur cacing pada sediaan, karena telur cacing
tersebut telah terkonsentrasi.
Menurut ketentuan WHO evaluasi
intensitas infeksi cacing berdasarkan pada hasil perhitungan telur per gram
tinja. Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Cacing ( Ankilomiasis, Askariasis,
Trichuriasis ) Berdasarkan Hitung Per Gram Tinja(TPG) Menurut WHO.
Klasifikasi Klinik
|
Ankilostomiasis
|
Askariasis
|
Trichuriasis
|
Negatif
|
0
|
0
|
0
|
Ringan
|
1-699
|
1-9.999
|
1-99
|
Sedang
|
700-24.999
|
10.000-299.999
|
100-99.999
|
Berat
|
≥ 25.000
|
≥ 3.00.000
|
≥ 100.000
|
IV. Cara Penularan
Penularan
kecacingan secara umum melalui dua cara
1.
Anak buang air besar sembarangan – Tinja yang
mengandungi telur cacing mencemari tanah – Telur menempel di tangan atau kuku
ketika mereka sedang bermain– Ketika makan atau minum, telur cacing masuk ke
dalam mulut – tertelan – kemudian orang akan cacingan dan seterusnya terjadilah
infestasi cacing.
2.
Anak buang air besar sembarangan – tinja yang
mengandung telur cacing mencemari tanah – dikerumuni lalat – lalat hinggap di
makanan atau minuman – makanan atau minuman yang mengandungi telur cacing masuk
melalui mulut – tertelan – dan selanjutnya orang akan cacingan – infestasi
cacingpun terjadi.
(Elmi, 2004)
Gambar 7. siklus masuknya penyakit kecacingan pada tubuh manusia melaui dua cara yaitu Pertama : telur yang infektif masuk melalui mulut, tertelan kemudian masuk usus besar , beberapa lama hari kemudian menetas jadi larva lalu menjadi dewasa dan berkembang biak. Kedua : telur menetas ditanah lalu menjadi larva infektif kemudian masuk melalui kulit kaki atau tangan menerobos masuk ke pembuluh darah terus ke jantung berpindah paru-paru, lalu terjerat di tenggorakan masuk kerongkongan lalu usus halus kemudian menjadi dewasa dan berkembang biak (Elmi, 2004).
V.
Pencegahan
Pencegahan infeksi cacing
dapat dilakukan dengan:
a.
Pendidikkan kesehatan
seluruh anggota keluarga.
b.
Menciptakan lingkungan yang
bersih dan sehat bebas dari tinja.
c.
Membuat jamban yang sehat
dan biasakan buang tinja pada jamban.
d.
Mancuci tangan dengan
deterjen / sabun sebelum makan.
e.
Menggunting kuku tangan.
f.
Hindari bermain di tanah.
g.
Menggunakan alas kaki.
(Winita,
dkk., 2012)
VI. Pengobatan
Segera tangani dan atasi
Cacingan pada anak Anda.
Hal
yang Dapat Dilakukan:
1.
Menjaga kebersihan diri
dengan memotong kuku, menggunakan sabun
pada waktu mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan
pada waktu mandi
pada waktu mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan
pada waktu mandi
2.
Menjaga kebersihan
lingkungan
3.
Menghindari makanan yang
telah dihinggapi lalat dan cuci bersih bahan
makanan untuk menghindari telur cacing yang mungkin ada serta
biasakan memasak makanan dan minuman
makanan untuk menghindari telur cacing yang mungkin ada serta
biasakan memasak makanan dan minuman
4.
Biasakan mencuci tangan
sebelum makan
5.
Memasak daging sampai matang
6.
Memperbanyak asupan air
mineral
7.
Menggunakan karbol di tempat
mandi
8.
Menggunakan alas kaki untuk
menghindari sentuhan langsung dengan
tanah saat bekerja dihalaman, perkebunan pertanian, pertambangan, dll
tanah saat bekerja dihalaman, perkebunan pertanian, pertambangan, dll
Obat
yang Dapat Digunakan:
1.
Pirantel Pamoat
Digunakan untuk mengatasi cacingan. Obat ini dikontraindikasikan
untuk penderita dengan gangguan fungsi hati, anak dibawah umur 2 tahun, dan ibu
hamil.
Efek Samping : Mual, muntah, diare, pusing, mengantuk, dan
ruam kulit.
Aturan
pakai :
Tablet 125
mg
·
2 – 5 tahun : 1 tablet
·
5 – 9 tahun : 2 tablet
·
10 – 15 tahun : 3 tablet
·
diatas 15 tahun dan dewasa :
4 tablet
Tablet 250 mg
·
1 – 5 tahun : ½ tablet
·
5 – 9 tahun : 1 tablet
·
10 – 15 tahun : 1½ tablet
·
diatas 15 tahun dan dewasa :
2 tablet
2. Mebendazol
2. Mebendazol
Obat ini digunakan untuk mengatasi cacingan. Obat ini dikontraindikasikan untuk anak balita dan ibu hamil karena dapat menyebabkanpembentukan sel yang tidak normal (teratogenik).
Hal yang harus
diperhatikan dalam penggunaan obat ini :
-
Konsultasikan ke dokter atau apoteker untuk pendertia diabetes dan
ibu menyusui
-
Penggunaan jangka panjang dengan dosis besar dapat menimbulkan
penurunan sel darah putih dan dapat kembali normal apabila penggunaan obat
dihentikan.
Efek samping yang
mungkin timbu adalah nyeri pada lambung dan diare
Bentuk sediaan : Tablet 100 mg
Aturan pemakaian :
• Untuk cacing kremi,
1 tablet sehari
• Untuk cacing
cambuk, 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam selama 3 hari
berturut-turut.
• Untuk cacing
gelang, 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam selama 3 hari
berturut-turut.
3. Piperazin
3. Piperazin
Obat ini digunakan
untuk mengatasi penyakit cacingan. Obat ini dikontraindikasikan untuk penderita
epilepsy, gangguan fungsi hati atau ginjal, dan pasien yang alergi terhadap
piperasin.
Efek samping yang
mungkin terjadi adalah mual, muntah, dermatitis, diare, dan reaksi alergi.
Bentuk Sediaan:
• Sirup piperazin
sitrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)
• Sirup piperazin
heksahidrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)
Diminum setelah makan
selama 4 hari berturut-turut.
Aturan pemakaian :
- bayi : 2,5 ml
- 1 – 2 tahun : 5 ml
- 3 – 5 tahun : 2 x
sehari 5 ml
Margono.
S. 1998. Pelaksanaan Penanggulangan Cacing Usus pada Program Terpadu di DKI
Jakarta, No. 1 Tahun 14.
Jakarta: Penerbit Medika.
Elmi.
2004. Status
Gizi Dan Infestasi Cacing Usus Pada Anak Sekolah Dasar . Medan:
Universitas Sumatera Utara
Winita,
R. Mulyati, Hendri A. 2012. Upaya
Pemberantasan Kecacingan Di Sekolah Dasar. Makara Kesehatan, Vol. 16 (2).
Noerhayati.S,
1999, Dampak Pembinaan Air Bersih, Jamban Keluarga, dan Kesehatan Lingkungan
Terhadap Prevalensi Ascaris Lumbricoides Di Kasongan Yogyakarta.
Yogyakarta: Penerbit Medika.
Gandahusada,
S., H. D. Illahude, dan W. Pribadi. 2000. Parasitologi Kedokteran, Edisi
Ketiga, Jakarta: Penerbit EGC.
Kieswari,
A. F. D. 2009. Hubungan Antara
Kebersihan Perorangan Dan Sanitasi Tempat Kerja Dengan Kejadian Infeksi ‘Soil
Transmitted Helminth’ Pada Pengrajin Genteng Di Desa Singorojo
Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Effendi, . 1991. Penyakit dan
Penanggulangannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Depkes RI. 2006. Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor: 424 / MENKES / SK/VI, Pedoman Pengendalian Cacingan.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar