Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Featured Posts

Selasa, 06 Desember 2016

Awas Cacingan! Ayo Wujudkan Generasi Sehat Bebas Cacingan






Kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat di Indonesia hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena prevalensi kecacingan tersebut di Indonesia masih tinggi. Meskipun angka kecacingan masih tergolong tinggi, namun pencegahan dan pemberantasan terhadap infeksi penyakit tersebut belum juga dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini disebabkan infeksi cacing ini biasanya kurang mendapat perhatian yang cukup, terutama dari pihak orang tua, karena akibat yang ditimbulkan infeksi cacing tersebut secara langsung tidak dapat terlihat (Kieswari, 2009).
Kecacingan dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, karena dapat menurunkan produktivitas yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas anak di masa yang akan datang. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kecacingan, antara lain kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhannya, kondisi sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Kondisi sanitasi lingkungan sangat erat hubungannya dengan infestasi cacing. Hal ini dikarenakan sanitasi lingkungan yang tidak memadai dapat menjadi sumber penularan cacing pada tubuh manusia (Kieswari, 2009).

II.          Penyebab Utama
Nematoda usus yang menginfeksi manusia mencakup empat spesies utama, yaitu: Ascaris lumbricoides, Trichuris trichura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale (Noerhayati, 1999).
2.1        Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
2.1.1  Epidemiologi
Infeksi yang disebabkan oleh cacing ini disebut Ascariasis. Ascaris lumbricoides merupakan nematoda usus terbesar. Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, frekuensinya antara 60–90%. Keadaan tanah dan iklim yang sesuai dapat menjadikan tempat perkembangan yang baik untuk cacing ini. Telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi dan jatuh pada tanah yang sesuai menjadi infektif dalam waktu tiga minggu pada suhu optimum kira-kira 25–30oC (Gandahusada dkk., 2000). Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan telur Ascaris lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva). Semakin banyak telur yang ditemukan dari sumber kontaminasi, maka semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah. Telur Ascaris lumbricoides lebih kuat dan lebih tahan pada berbagai variasi lingkungan.

Gambar 1. Cacing gelang.

2.1.2  Siklus Hidup
Siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa didalam usus manusia, dan dikeluarkan melalui feses. Manusia merupakan hospes defenitif. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100.000 - 200.000 butir perhari, yang terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Bila keadaan lingkungan menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung dari matahari, maka telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dan dapat bertahan dalam waktu yang lama. Embrio akan berubah menjadi larva di dalam telur dalam waktu kurang lebih 3 minggu (Gandahusada dkk., 2000).
Telur yang infektif bila tertelan oleh manusia, akan menetas diusus halus. Larva yang menembus dinding usus halus menuju ke pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan melalui vena vorta masuk ke hepar, kemudian ke jantung kanan dan paru. Di paru larva menembus dinding pembuluh darah dan dinding alveolus, masuk kerongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Didalam trakea dengan bantuan bulu-bulu getar dalam saluran pernafasan, larva mencapai epiglotis kemudian tertelan kembali ke dalam lambung, lalu menuju usus halus. Di dalam usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Setelah kopulasi cacing betina mereproduksi telur dan telur akan keluar bersama feses penderita. Bila telur ini jatuh ke tanah yang sesuai untuk pertumbuhannya, telur akan menjadi infektif bagi manusia setelah 3 minggu. Sejak telur infektif sampai cacing dewasa diperlukan waktu kurang lebih 3 bulan, cacing dewasa dapat hidup di usus halus selama 1 tahun di dalam usus halus.

Gambar 2. Siklus hidup cacing gelang (CDC, 2009).

2.1.3  Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh larva dan cacing dewasa. Bila jumlahnya sedikit biasanya tidak menunjukkan adanya gejala klinis dan baru diketahui sebagai penderita setelah dilakukan pemeriksaan feses atau bila cacing dewasa keluar bersama feses. Terdapatnya cacing dewasa pada usus biasanya tidak menyebabkan kelainan kecuali bila jumlahnya banyak. Terkadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual-mual, nafsu makan kurang, diare, atau konstipasi (Margono, 1998).
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Penderita yang rentan terhadap pendarahan yang kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofolia. Pada foto toraks tampak infitrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu, keadaan ini disebut sindrom loeffler (Gandahusada dkk., 2000).
2.1.4  Patofisiologi
Menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006:7) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive) (Effendy,1991).

2.2        Trichuris trichura (Cacing Cambuk)
2.2.1  Epidemiologi
Infeksi oleh cacing ini disebut trichuriasis. Banyak di jumpai di daerah dengan curah hujan yang tinggi dan kelembaban tinggi. Telur yang infektif dalam keadaan terlindung dari sinar matahari langsung akan tetap bertahan dalam waktu lama. Akan tetapi dalam suhu yang tinggi dan kekeringan Trichuris trichuira lebih lemah. Penularan terjadi melalui kontaminasi tangan, makanan atau minuman. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira – kira 30oC. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30%–90% (Kieswari, 2009).
Gambar 3. Cacing cambuk.

2.2.2  Siklus Hidup
Cacing cambuk ini mempunyai siklus hidup yang sederhana. Telur yang telah dibuahi keluar dari hospes bersama dengan feses. Telur tersebut berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Infeksi pada manusia terjadi karena tertelan telur yang infektif yang mencemari makanan dan minuman mentah, sedangkan pada anak-anak biasanya terinfeksi langsung melalui tangan yang kotor tercemar tanah yang mengandung telur infektif. Dinding telur akan tercerna didalam usus halus dan larva muda yang keluar bergerak turun menuju dasar dari kripta usus. Didalam usus dapat menetap selama 3-10 hari. Setelah menjadi dewasa cacing turun kebawah kedaerah sekum dan kolon bagian proksimal kemudian melekatkan diri dengan menembus mukosa usus. Di mukosa usus itulah cacing mengambil makanannya. Masa pertumbuhan mulai dari telur tertelan sampai menjadi dewasa kurang lebih 30-90 hari (Gandahusada dkk., 2000).

Gambar 4. Siklus hidup cacing cambuk (CDC, 2009).

2.2.3  Gejala Klinis
Pada umumnya Trichuris trichuira dapat menimbulkan efek traumatik dan efek toksik pada penderita. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan kepalanya pada dinding usus, cacing ini biasanya menetap pada sekum. Pada infeksi yang ringan kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit. Sedangkan pada infeksi yang berat akan terjadi pembuntuan appendiks dan proses peradangan pada sekum, kolon, dan appendiks tersebut. Cacing yang menghasilkan lytic subtance ini juga menghisap darah penderita. Ultikaria dan gejala-gejala alergi lain dapat pula dijumpai pada penderita trichuriasis.
Gejala pada infeksi ringan dan sedang seperti, susah tidur, gugup, nafsu makan menurun, bisa juga dijumpai nyeri epigastrik, muntah, kontipasi, perut kembung. Pada infeksi berat dengan gejala seperti, diare berdarah, nyeri perut, tenesmus, anoreksia, anemia dan penurunan berat badan. Pada infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti. Anemia yang terjadi pada penderita trichuriasis dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu karena kemampuan cacing cambuk menghisap darah hospes (0,005 mL/hari/ekor) dan karena pendarahan yang terjadi pada tempat perlekatan cacing di rongga usus.
2.2.4  Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Depkes RI., 2006).

2.3        Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)
2.3.1  Epidemiologi     
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Manusia merupakan penjamu primer untuk cacing ini. Kondisi yang optimal untuk daya tahan larva adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 28°C–32°C (Gandahusada dkk., 2000). Infeksi yang terjadi pada manusia karena tertelannya larva filariform ataupun dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada Necator americanus infeksi melalui kulit lebih sering terjadi, sedangkan pada Ancylostoma duodenale infeksi lebih sering terjadi dengan tertelan larva.
Gambar 5. Cacing tambang.
2.3.2  Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif pada ke dua cacing tambang. Cacing tambang melekat pada mukosa usus halus dengan rongga mulutnya. Telur yang dikeluarkan bersama tinja pada lingkungan yang sesuai akan menjadi matang dan mengeluarkan larva rhabditiform dalam waktu 1–2 hari pada suhu optimum. Suhu optimum untuk perkembangan larva antara lain terlindung dari sinar matahari yang kuat terletak pada tanah dengan ukuran partikel dan stuktur yang sesuai, dan temperatur antara 28–32oC untuk Necator americanus dan antara 23– 25oC untuk Ancylostoma duodenale. Dalam waktu 3–4 hari larva rhabdiftiform menjadi larva filariform yang infektif dan dapat menembus kulit manusia (Gandahusada dkk., 2000).
Infeksi pada manusia terjadi ketika larva filariform menembus kulit kaki. Ancylostoma duodenale dapat menginfeksi manusia melalui mulut. Setelah larva menembus kulit manusia maka larva akan mengikuti aliran limfe atau pembuluh kapiler dan dapat mencapai paru. Larva akan naik ke bronkus dan trakea, dan akhirnya masuk ke usus dan menjadi dewasa. Migrasi melalui darah dan paru berlangsung selama satu minggu, sedangkan siklus dari larva menjadi dewasa berlangsung selama 7–8 minggu.




Gambar 6. Siklus hidup cacing tambang (CDC, 2009).

2.3.3  Gejala Klinis
Gejala klinik dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa dan larva. Bila larva infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal, bila jumlah larva infektif yang masuk banyak, maka dalam beberapa jam saja akan terjadi reaksi alergi terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan yang disebut juga ground itc. Larva Ancylostoma duodenale yang tertelan, sebagian akan masuk ke usus dan tumbuh menjadi dewasa, sebagian lagi akan menembus mukosa mulut, faring, dan melewati paru seperti larva menembus kulit. Seekor cacing Necator americanus menyebabkan penderita kehilangan darah 0,005–0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale menyebabkan penderita kehilangan darah 0,08–0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia pada penderita. Akibat anemia ini menyebabkan penderita tampak pucat, perut buncit, dan rambut kering serta mudah lepas.
3.3.4 Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Depkes RI., 2006).

III. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Morfologi dan karakteristik telur cacing dapat dilihat pada tabel 1. Perhitungan telur per gram tinja dengan teknik katokatz dipakai sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi. Metode Kato-Katz merupakan metode kuantitatif yang disarankan untuk diagnosis penyakit infeksi cacing (Kemenkes RI, 2012).
Tabel 1. Karakteristik telur cacing yang ditularkan melalui tanah


Pemeriksaan tinja dengan cara konsentrasi, pengendapan dan pengapungan lebih teliti daripada pemeriksaan dengan cara langsung. Hal ini karena dengan cara konsentrasi akan lebih mudah dan lebih cepat ditemukan telur cacing pada sediaan, karena telur cacing tersebut telah terkonsentrasi.
Menurut ketentuan WHO evaluasi intensitas infeksi cacing berdasarkan pada hasil perhitungan telur per gram tinja. Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Cacing ( Ankilomiasis, Askariasis, Trichuriasis ) Berdasarkan Hitung Per Gram Tinja(TPG) Menurut WHO.
Klasifikasi Klinik
Ankilostomiasis
Askariasis
Trichuriasis
Negatif
0
0
0
Ringan
1-699
1-9.999
1-99
Sedang
700-24.999
10.000-299.999
100-99.999
Berat
≥ 25.000
≥ 3.00.000
≥ 100.000

IV. Cara Penularan
Penularan kecacingan secara umum melalui dua cara
1.      Anak buang air besar sembarangan – Tinja yang mengandungi telur cacing mencemari tanah – Telur menempel di tangan atau kuku ketika mereka sedang bermain– Ketika makan atau minum, telur cacing masuk ke dalam mulut – tertelan – kemudian orang akan cacingan dan seterusnya terjadilah infestasi cacing.
2.      Anak buang air besar sembarangan – tinja yang mengandung telur cacing mencemari tanah – dikerumuni lalat – lalat hinggap di makanan atau minuman – makanan atau minuman yang mengandungi telur cacing masuk melalui mulut – tertelan – dan selanjutnya orang akan cacingan – infestasi cacingpun terjadi.
(Elmi, 2004)



Gambar 7. siklus masuknya penyakit kecacingan pada tubuh manusia melaui dua cara yaitu Pertama : telur yang infektif masuk melalui mulut, tertelan kemudian masuk usus besar , beberapa lama hari kemudian menetas jadi larva lalu menjadi dewasa dan berkembang biak. Kedua : telur menetas ditanah lalu menjadi larva infektif kemudian masuk melalui kulit kaki atau tangan menerobos masuk ke pembuluh darah terus ke jantung berpindah paru-paru, lalu terjerat di tenggorakan masuk kerongkongan lalu usus halus kemudian menjadi dewasa dan berkembang biak (Elmi, 2004).

V.    Pencegahan
Pencegahan infeksi cacing dapat dilakukan dengan:
a.       Pendidikkan kesehatan seluruh anggota keluarga.
b.      Menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat bebas dari tinja.
c.       Membuat jamban yang sehat dan biasakan buang tinja pada jamban.
d.      Mancuci tangan dengan deterjen / sabun sebelum makan.
e.       Menggunting kuku tangan.
f.       Hindari bermain di tanah.
g.      Menggunakan alas kaki.
(Winita, dkk., 2012)
VI.    Pengobatan
Segera tangani dan atasi Cacingan pada anak Anda.
Hal yang Dapat Dilakukan:
1.       Menjaga kebersihan diri dengan memotong kuku, menggunakan sabun
pada waktu mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan
pada waktu mandi
2.       Menjaga kebersihan lingkungan
3.       Menghindari makanan yang telah dihinggapi lalat dan cuci bersih bahan
makanan untuk menghindari telur cacing yang mungkin ada serta
biasakan memasak makanan dan minuman
4.       Biasakan mencuci tangan sebelum makan
5.       Memasak daging sampai matang
6.       Memperbanyak asupan air mineral
7.       Menggunakan karbol di tempat mandi
8.       Menggunakan alas kaki untuk menghindari sentuhan langsung dengan
tanah saat bekerja dihalaman, perkebunan pertanian, pertambangan, dll


Obat yang Dapat Digunakan:
1.      Pirantel Pamoat
Digunakan untuk mengatasi cacingan. Obat ini dikontraindikasikan untuk penderita dengan gangguan fungsi hati, anak dibawah umur 2 tahun, dan ibu hamil.
Efek Samping              : Mual, muntah, diare, pusing, mengantuk, dan ruam kulit.
Aturan pakai    :
Tablet 125 mg
·         2 – 5 tahun : 1 tablet
·         5 – 9 tahun : 2 tablet
·         10 – 15 tahun : 3 tablet
·         diatas 15 tahun dan dewasa : 4 tablet
Tablet 250 mg
·         1 – 5 tahun : ½ tablet
·         5 – 9 tahun : 1 tablet
·         10 – 15 tahun : 1½ tablet
·         diatas 15 tahun dan dewasa : 2 tablet 
2.      Mebendazol


Obat ini digunakan untuk mengatasi cacingan. Obat ini dikontraindikasikan untuk anak balita dan ibu hamil karena dapat menyebabkanpembentukan sel yang tidak normal (teratogenik).
Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat ini :
-          Konsultasikan ke dokter atau apoteker untuk pendertia diabetes dan ibu menyusui
-          Penggunaan jangka panjang dengan dosis besar dapat menimbulkan penurunan sel darah putih dan dapat kembali normal apabila penggunaan obat dihentikan.
Efek samping yang mungkin timbu adalah nyeri pada lambung dan diare
Bentuk sediaan : Tablet 100 mg
Aturan pemakaian :
• Untuk cacing kremi, 1 tablet sehari
• Untuk cacing cambuk, 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam selama 3 hari berturut-turut.
• Untuk cacing gelang, 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam selama 3 hari berturut-turut. 
3.      Piperazin
Obat ini digunakan untuk mengatasi penyakit cacingan. Obat ini dikontraindikasikan untuk penderita epilepsy, gangguan fungsi hati atau ginjal, dan pasien yang alergi terhadap piperasin.
Efek samping yang mungkin terjadi adalah mual, muntah, dermatitis, diare, dan reaksi alergi.
Bentuk Sediaan:
• Sirup piperazin sitrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)
• Sirup piperazin heksahidrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)
Diminum setelah makan selama 4 hari berturut-turut.
Aturan pemakaian :
- bayi : 2,5 ml
- 1 – 2 tahun : 5 ml
- 3 – 5 tahun : 2 x sehari 5 ml
- diatas 6 tahun dan dewasa : 3 x sehari 5 ml




DAFTAR PUSTAKA

Margono. S. 1998. Pelaksanaan Penanggulangan Cacing Usus pada Program Terpadu di DKI Jakarta, No. 1 Tahun 14. Jakarta: Penerbit Medika.
Elmi. 2004.  Status Gizi Dan Infestasi Cacing Usus Pada Anak Sekolah Dasar . Medan: Universitas Sumatera Utara
Winita, R. Mulyati, Hendri A. 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di Sekolah Dasar. Makara Kesehatan, Vol. 16 (2).
Noerhayati.S, 1999, Dampak Pembinaan Air Bersih, Jamban Keluarga, dan Kesehatan Lingkungan Terhadap Prevalensi Ascaris Lumbricoides Di Kasongan Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Medika. 
Gandahusada, S., H. D. Illahude, dan W. Pribadi. 2000. Parasitologi Kedokteran, Edisi Ketiga, Jakarta: Penerbit EGC.
Kieswari, A. F. D. 2009. Hubungan Antara Kebersihan Perorangan Dan Sanitasi Tempat Kerja Dengan Kejadian Infeksi ‘Soil Transmitted Helminth’ Pada Pengrajin Genteng Di Desa Singorojo Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Effendi, . 1991. Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Depkes RI. 2006. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424 / MENKES / SK/VI, Pedoman Pengendalian Cacingan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.